Pegiat keberagaman menilai candaan bernuansa agama, dan laporan penistaan agama ini sebagai bentuk pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat.
Sejumlah kalangan mengatakan polemikZulhas – sapaan Zulkifli Hasan –tidak akan membesar seperti kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat Pilkada 2017, karena sejumlah perbedaan yang mendasar.
Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) melaporkan Zulhas atas tuduhan menistakan agama ke Mabes Polri, Kamis (21/12).
Ketuanya, Rahmat Himran menyerahkan bukti berupa artikel di media massa dan cuplikan video viral Zulhas saat membuka acara Rakernas Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) di Semarang, Selasa lalu.
“Saya keliling daerah, Pak Kiai. Sini aman, Jakarta nggak ada masalah, yang jauh-jauh ada lho yang berubah. Jadi kalau salat Maghrib baca, ‘waladholin… ‘, Al-Fatihah baca ‘waladholin..’ Ada yang diem sekarang, pak. Loh kok lain,” kata Zulhas.
Hal ini merujuk usai membaca surat Al-Fatihah dalam salat berjamaah akan diikuti “Amin” oleh makmum. Dalam konteks politik kekinian, “Amin” merupakan jargon sekaligus singkatan dari pasangan capres nomor urut satu yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
“Ada yang diam sekarang [tidak menyebut Amin] banyak, saking cintanya sama Pak Prabowo itu,” katanya.
Setelah itu, menteri perdagangan ini juga membahas gerakan duduk dalam salat (tahiyat) yang diselingi dengan menunjuk jari telunjuk.
“Itu kalau tahiyatul akhir awalnya gini (menunjukan jari telunjuk), sekarang jadi gini (menunjukkan dua jari, telunjuk dan tengah),” kata Zulhas.
Namun, video ini diklarifikasi oleh Ketua Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay. Kata dia, tidak ada maksud Zulhas melecehkan agama.
“Bang Zulhas itu kan memberi contoh agar mudah dipahami masyarakat. Nah, yang gampang diingat mungkin ya pada akhir bacaan surat Al-Fatihah. Termasuk gerakan jari pada saat tahiyat,” ujar Saleh seperti dikutip dari Detik.
“Dalam konteks ini, Bang Zulhas mengingatkan bahwa tarikan politik begitu luar biasa. Dia khawatir, umat terpecah,” lanjutnya.
Wakil Ketua Umum PAN, Yandri Susanto ikut membela. Kata dia: “Bang Zul menyampaikan hal tersebut semata-mata karena ingin mengingatkan kita semua bahwa jangan sampai karena fanatisme berlebihan kemudian mengubah tata cara salat seseorang”.
Disandingkan dengan Anies
Di media sosial, perilaku Zulhas ini disandingkan dengan capres nomor urut satu, Anies Baswedan, saat berbincang dengan Abdul Somad.
Dalam satu kesempatan, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus Timnas AMIN, Jazilul Fawait mengatakan polemik Zulhas tidak bisa disamakan dalam perbincangan Anies dan Abdul Somad.
“Beda dong, UAS (Ustad Abdul Somad) itu ahli agama jadi tahu batas batas dan tidak sembarangan saja,” kata Jazilul kepada BBC News Indonesia.
Ia menambahkan, dalam konteks polemik Zulhas disampaikan dalam kapasitas sebagai menteri dan ketua PAN yang membuat persoalannya menjadi sensitif.
“Saran saya, agar Pak Zul lebih baik berhati hati dan menjaga ucapan supaya tidak membuat yang lain tersinggung,” tambah Jazilul.
Dalam hal dugaan politik identitas dan agama, capres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo juga tak luput dari polemik saat ia muncul dalam video azan televisi.
Ketua FUIB, Rahmat Himran mempertimbangkan ikut melaporkan Anies dalam tuduhan yang sama dengan Zulhas.
“Untuk dugaan penistaan agama yang lainnya, akan kita evaluasi lagi… akan kita pertimbangkan dalam pembahasan yang serius bagi kita,” katanya.
Rahmat melanjutkan, laporan dugaan penistaan agama oleh Zulhas ini sebagai pelajaran bagi tim sukses tiga pasangan capres dan cawapres lainnya agar tidak menggunakan simbol agama dalam politik.
“Silakan kalian berpolitik, silakan kalian berkampanye, tapi jangan sampai kemudian agama dihina, agama dinista, ataupun agama dibawa dalam kepentingan politik,” katanya.
Pendidikan politik yang buruk
Pegiat keberagaman dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Thowik menilai polemik Zulhas dengan candaannya soal gerakan salat yang dilanjutkan dengan pelaporan penistaan agama sebagai “pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat”.
Menurut Thowik, semestinya persoalan ini dikritisi dari sisi Zulhas yang tak mampu menempatkan diri sebagai menteri perdagangan sekaligus ketua parpol menyampaikan pernyataan “yang nggak perlu”.
Di sisi lain, unsur laporan ke polisi, kata dia belum menunjukkan indikasi pada ujaran kebencian (hate speech) dan kejahatan kebencian (hate crime).
Kedua unsur terindikasi ketika terdapat provokasi untuk melakukan diskriminasi, kebencian dan praktik kekerasan terhadap kelompok tertentu.
“Zulhasnya juga tidak bisa menempatkan diri posisi sebagai pejabat publik. Yang melaporkannya juga sama, nggak perlu sampai kriminalisasi karena tidak ada unsur hate speech dan unsur-unsur hate crime,” kata Thowik. Sambil menambahkan, “harusnya saling mendewasakan saja.”
Fitriah dari Jaringan Gusdurian Jakarta menganggap peristiwa ini menunjukan ke masyarakat bahwa pendidikan politik dan demokrasi belum matang.
“Ini cukup jadi gambaran bahwa kita seakan nggak punya alternatif atau cara berpikir yang lebih beragam melihat peristiwa ini,” katanya.
Tidak akan sebesar kasus Ahok
Peneliti politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad menilai isu Zulhas secara khusus, dan secara luas politisasi agama, tidak akan terlalu berpengaruh dalam pemilu 2024.
Hal ini berangkat dari Pemilu 2014 dan 2019, saat Joko Widodo menjadi sasaran serangan hoax terkait agama dan tuduhan sebagai simpatisan PKI.
Namun, isu agama yang menyerang Jokowi tidak berpengaruh, karena ia terbukti bisa mengalahkan Prabowo saat itu.
“Jadi mulai ada pergeseran, bahwa publik semakin tidak termakan isu agama itu,” kata Saidiman.
Terdapat sejumlah perbedaan dalam dua polemik ini: Ahok beda agama, sedangkan Zulhas “ber-KTP Islam”.
“Tidak akan seperti Aksi 212 di zaman Ahok. Menurut saya tidak, sudah berkurang perhatian orang ke sana [isu agama],” tambah Saidiman.
Faktor lainnya adalah “kubu Prabowo dan kubu Anies sama-sama pelaku pengguna identitas agama”.
Peneliti dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Husni Mubarok juga mengatakan, polemik Zulhas “tidak akan besar”.
“Kalau Zulhas capres, ini akan menjadi gelombang seperti 2017 [Pilkada DKI Jakarta]. Tapi saya duga nggak,” kata Husni.
Husni melanjutkan, politisasi agama masih tetap akan digunakan dalam pemilu 2024. Menurutnya, kampanye dengan agama sebagai jalan efektif memperebutkan suara.
“Bukan hanya efektif, tapi juga murah,” katanya.
Alasan yang mendukung politisasi agama terus dilakukan dalam setiap pemilu.
Siapa yang diuntungkan dan dirugikan?
Peserta pemilu yang akan diuntungkan, karena tidak harus banyak memikirkan program kerja dan visi-misi.
Di sisi lain, Saidiman dan Husni sepakat kerugian paling mendasar akan ditelan oleh masyarakat karena politik agama.
“Kita tidak mendapatkan pemimpin berdasarkan kepada program yang serius. Kita jadi memilih karena sentimen orang itu dukung agama atau tidak dukung agama,” kata Husni.